Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa sebagian kaum
muslimin ada yang meyakini bahwa tawassul itu adalah meminta kepada selain
Allah SWT dan jatuhnya adalah syirik.
Terjadi
tafrid dan ifrad di dalam masalah tawassul ini. Terdapat dua sisi ekstrim di
dalam masalah tawassul.
Satu
sisi telah mengharamkan secara mutlak ritual tawassul dengan alas an bahwa manusia
harus minta secara langsung kepada Allah SWT, tidak boleh melalui perantara
manusia a tau makhluk yang lain.
Sementara,
ada sisi yang lain yang kita sebut juga ifrad dalam hal tawassul. Sisi ekstrim
juga dalam menanggapi masalah ini, dimana ada sebagian orang yang melakukan
bertawassul kepada siapapun tanpa mengetahui siapa yang ia jadikan wasilah
(perantara). Untuk mencapai kepada Allah, ia mendatangi makam – makam bias
menjadi wasilah yang sah menuju kepada Allah.
Seperti
apa yang disampaikan oleh syekh Tijani Samawi di dalam kitabnya. Beliau
mengatakan “Kam min kuburin tuzar wa ahluha min ahlin naar”.
Berapa
banyak kubur yang diziarahi, sementara yang di dalamnya itu adalah ahli neraka.
Artinya ada yang kemudian tanpa ma’rifat orang
bertawassul kepada manusia – manusia atau arwah – arwah yang mereka sendiri
tidak tahu siapa mereka, dan bagaimana maqom serta kedudukan ruhani mereka, dan
layakkah mereka untuk menjadi wasilah antara manusia dengan Allah SWT.
Artinya,
dalam masalah tawassul ini ada 2 sisi ekstrim. Pertama, ada yang mengharamkan
tawassul secara mutlak dan menganggap itu sebagai syirik karena meminta kepada
selain Allah. Ada sisi ekstrim yang lain yaitu yang tawassul itu membabi buta.
Dan itu
yang kemudian barangkali juga akan saling mempengaruhi antara 2 sisi ekstrim
ini. Barangkali juga ekstrim yang pertama melihat bahwa sedemikian rupa bahwa
orang di kubur kemudian tawassul, di mana tawassul, di mana tawassul. Kemudian
mereka melihat bahwa, ini jadinya syirik.
Apalagi
kemudian nada tawassul itu khan meminta. Ya Wajihan ‘indallah, isyfa’lana
‘indallah. Meminta syafaat, meminta sesuatu kepada wasilah ini. Maka kekuatan
wasilah ini adalah karena mereka harus pilihan Allah. Kalau tidak, maka dia
tidak memiliki atau yang jadi wasilah ini tidak memiliki hak syar’i untuk
menjadi wasilah antara manusia dengan Allah SWT.
Mendoakan
silakan. Kita mendoakan siapapun yang sudah mendahului kita. Itu boleh boleh
saja. Permasalahannya tawassul itu bimakna kita mencari jembatan untuk
menyampaikan kita kepada Allah SWT maka jembatan itu supaya kita tidak kesasar,
jembatan itu haruslah yang memang dipilihkan oleh Allah SWT. Jalur itu memang
yang dibuat oleh Allah SWT hablul mamdud minassamai ilal ardh. Tali penghubung
antara langit dan bumi.
Sehingga
dari awal sampai akhir kita melihat bagaimana ahlul bait sa selalu menciptakan
sebuah konsep keseimbangan. Menyampaikan sebuah konsep keseimbangan. Maka ketika satu sisi berfaham jabariyah, sisi lain berfaham
tafidiyah, sisi yang jabariyah mengatakan semua itu sudah ditentukan oleh Allah
SWT, neraka dan surga nya adalah ketentuan Allah, sementara tafidiyah mengatakan
semuanya itu perbuatan manusia dan tidak ada campur tangan Allah di dalamnya.
Keduanya sisi ekstrim dan Imam Ja’far Shadiq as kemudian bersabda, “La jabra wa
la tafid wala kinnal amr bainal amrain”. Tidak ada jabariyah, tidak ada
tafidiyah, tapi di tengah-tengah di antara keduanya. Sama juga dengan masalah
tawassul.
Maka
betul ketika disebutkan dalam hadis yang sering kita dengar, “Khairul asyya
ausatuha” atau “Khairul umur ausatuha”. Sebaik-baik urusan adalah yang di
tengah. Dan para Imam ahlulbait as benar-benar menyampaikan kepada kita konsep
– konsep yang jauh dari ekstrim. Baik ekstrim kiri maupun kanan. Baik ekstrim
dalam kurangnya, maupun ekstrim dalam lebihnya.
Dan di
dalam masalah tawassul inipun para Imam ahlulbait as mengajarkan kepada kita
bahwa tawassul itu tidak dilarang. Bahkan tawassul itu dianjurkan dan
diperintahkan mengingat betapa manusia ini terlalu kotor untuk meminta langsung
kepada Allah SWT. Maka Allah SWT menyediakan wasilah, menyediakan jembatan,
untuk menyampaikan dia kepada Allah SWT.
Dan
sebenarnya konsep tawassul ini adalah konsep yang logis di dalam kehidupan
kita. Bahkan tidak usah jauh-jauh kalau kita mau melihat ayat Al-Qur’an, Allah
pernah berfirman Qul, katakanlah wahai Muhammad. Inkuntum tuhibbunallah
fattabiuni yuhbibkumullah. Allah berfirman, Ya Muhammad katakanlah kepada
mereka. Jika kamu mencintai Allah maka ikutilah aku. Maka Allah akan mencintai
kamu. Maka saat itu Nabi Muhammad SAW adalah wasilah supaya manusia mendapatkan
cinta dari Allah SWT SWT.
Saya
tidak mengatakan jika kamu mencintai Allah maka cintailah Allah. Tapi jika kamu
mencintai Allah, ada jalannya. Ada caranya. Ada jalurnya. Yaitu apa? Maka
ikutilah aku. Maka Allah akan mencintai kamu. Cinta Allah disyaratkan atau
digantungkan kepada keikutan kita kepada Rasulullah SAW dalam hal ini yang pada
gilirannya termasuk perintah Rasulullah untuk mengikuti para imam ahlul bait
sa. yang 12 jumlahnya sebagaimana disebutkan Shohih Bukhari dan Shohih Muslim. Artinya,
Al - Qur’an tidak pernah menentang tawassul. Al – Qur’an tidak ada ayat yang
melarang tawassul.
Bahkan
ketika kemudian “La yanfau syafaatun” tidak berlaku syafaat dan lain sebagainya
itu menceritakan tentang orang-orang yang kafir. Menceritakan tentang
orang-orang yang celaka. Karena ada beberapa kalangan yang kemudian
menyampaikan apa? Bahwa banyak ayat yang mengatakan pada hari akhir itu tidak
berguna syafaat, tidak berguna, dan lain sebagainya.
Betul,
dan lihatlah semua ayat yang berbicara tentang hal itu. Itu berhubungan dengan
orang kafir yang mencari selamat di akhirat. Bagi mereka memang tidak ada
syafaat. Justru ayat-ayat itu menguatkan tawassul. Termasuk ayat yang
mengatakan ketika Rasulullah menegur orang-orang kafir, orang-orang musyrik
Quraisy yang menyembah berhala, ditegur sama Rasulullah. Kemudian mereka
mengatakan, “La na’buduhum illa liyuqorribuna ilallahi zulfa.” Ya Muhammad kami
tidak menyembah mereka. Kami hanya menjadikan mereka sebagai wasilah untuk
mendekatkan kami kepada Allah SWT.
Yang
pertama, mereka mengatakan, sebagian kelompok, sebagian kalangan, sebagian
orang mengatakan bahwa ini merupakan ayat tentang larangan tawassul. Jadi,
tawassul itu adalah tradisinya orang musyrik yang menjadikan berhala sebagai
tawassul.
Yang
pertama, justru ayat ini menguatkan tawassul. Karena ketika mereka ditegur oleh
Nabi Muhammad, orang-orang musyrik itu menggunakan hujjah, kami tidak menyembah
mereka, tapi kami menjadikan mereka (berhala ini) sebagai alat untuk
mendekatkan kami kepada Allah. Artinya, mencari wasilah untuk mendekatkan
kepada Allah itu syar’i. Makanya mereka gunakan sebagai hujjah dihadapan nabi
Muhammad. Paham ya kira-kira ya? Ini syar’i. Satu.
Yang
kedua, di situ, yang dilarang, itu bukan tawassulnya. Tapi mad, obyeknya, atau
wasilahnya. Betul. Wasilah yang digunakan untuk tawassul itulah yang dilarang.
Bukan tawassul nya. Terbukti, orang musyrik menggunakan tawassul sebagai
hujjah. Nyembah itu tidak boleh. Kami hanya menjadikan dia sebagai wasilah.
Berarti wasilah itu boleh. Kalau nggak boleh, kalau dilarang oleh agama nabi
Muhammad, tidak mungkin orang kafir menggunakan itu sebagai hujjah supaya
boleh. Paham ya kira-kira ya?
Artinya,
banyak kemudian ayat di dalam Al-Qur’an yang digunakan untuk sebagian kalangan
dan diyakini sebagai, saya tidak tau dan diyakini sebagai ini atau tidak, tapi
mereka mengatakan itu sebagai ayat yang menentang dan melarang kita tawassul
dan kita hanya boleh minta langsung kepada Allah SWT. Karena Allah Maha
Mendengar. Allah Maha Mengetahui. Allah tidak perlu wasilah. Allah tidak perlu
perantara, dan lain sebagainya.
Dan
pernah kita bahas dalam majlis – majlis kita yang lain, bahwa kita tidak pernah
membahas tentang Allah itu butuh atau tidak, tapi kita membahas manusia itu
membutuhkan. Manusia itu membutuhkan. Sehingga ketika Rasulullah SAW bersabda,
“La tajma’u baina ismi wafun yadi wa ana Abul Qasim”. Jangan kalian campur
adukkan antara nama dan julukanku. Ana Abul Qasim, aku ini Abul Qasim. Tapi
ingat Abul Qasim itu bukan hanya karena saya punya anak yang namanya Qasim,
tapi Abul Qasim itu juga bimakna Allahu yu’thi wa ana aqsim atau uqasim. Karena
Allah yang member, dan aku yang Qasim atau membagi. Jadi di situ disebutkan
bahwa Allah SWT ketika memberikan sesuatu kepada manusia ada perantaranya juga.
Allah juga mengutus para malaikat kalau kita ngomong masalah perantara.
Pertanyaannya
adalah apakah Allah tidak mampu mencabut nyawa sendiri, kok kudu nyuruh
malaikat pencabut nyawa? Ya khan? Simple saja kita buat pembahasan kita bahwa
kalau memang segala sesuatu itu diukur dengan kemampuan Allah, Qudrah Allah, maka
apa? Maka tidak ada yang mustahil bagi Allah. Tapi di dalam ilmu Kalam, ilmu
akidah disebutkan “Al Qudrah tata’allaku bil Maqdurat”. Kemampuan itu selalu
berhubungan dengan yang dikenai kemampuan itu. Seperti memasukkan sapi yang
besar kepada telur yang kecil. Bisa nggak Allah itu? Bisa nggak Allah
memasukkan sapi yang besar kepada telur ayam yang kecil? Sapinya tetap segitu,
telur nya tetep segitu, sapinya masuk ke telur, telurnya nggak pecah! Bisa
nggak Allah itu? Bisa! Jangan pernah mengatakan Allah tidak bisa. Allah bisa. Permasalahannya
apakah telur itu mampu menahan sapi yang sedemikian besar tanpa dia harus pecah
dan sapi itu masuk ke dalamnya? Permasalahannya bukan mampu atau tidak Allah
itu. Permasalahannya, mampu nggak telur nya nahan sapi.
Maka
ketika Allah menurunkan sesuatu, Allah mengutus para malaikat. Bukan Allah yang
butuh malaikat, manusianya yang tidak bisa menerima langsung dari Allah SWT.
Maka ada filter, filter, filter, baru kita. Maka ada filter. Malaikat ada
filter anbiya’ ada filter aimmah, ada filter ulama, ada filter sampai kita
orang awam. Gampangane seperti itu.
Sehingga
dari Allah SWT kepada manusia, itupun melalui perantara. Dari atas ke bawah itu
ada perantaranya. Makanya kalau kita berdoa kenapa kita mengawalinya dengan sholawat.
Karena dari nabi Muhammad lah Allah SWT menyalurkan anugerahnya kepada kita.
Dari nabi Muhammad. Allahu yu’thi wa ana aqsim. Allah yang member, aku yang
membagi.
Sekarang,
kalau dari atas ke bawah saja ada wasilah, bagaimana kita dari bawah ke atas?
Dari Allah Yang Maha Kuasa kepada kita saja perlu yang namanya converter. Ada
yang merubah formatnya dari format ilahi diubah formatnya menjadi format
malaikat, diubah format nya menjadi format anbiya’, diubah formatnya dan
sebagainya sehingga kita mendapatkan syariat itu. Itu dari atas ke bawah. Yang logikanya
lebih gampang dari atas ke bawah karena berangkat dari kekuasaan Allah untuk
menurunkan sesuatu kepada ke sesuatu yang ada di bawah nya. Secara maqam wujud
dibawahnya Allah SWT.
Kalau
itu ada wasilah, perlu wasilah, meskipun bukan Allah yang membutuhkan,
bagaimana kita, manusia ini, dari bawah ke atas menyampaikan permohonan kita
kepada Allah. Apakah mungkin sampai kepada Allah tanpa melalui wasilah? Saya
kira lebih tidak mungkin lagi. Kalau dari atas ke bawah saja perlu wasilah,
bagaimana dari bawah ke atas?
Tapi
ketahuilah bahwasanya wasilah kepada Allah ini harusnya syar’i. Kalau njenengan
ingin dating satu pertunjukan maka njenengan harus menggunakan tiket yang
dikeluarkan oleh panitia pertunjukan. Ya khan? Kalau njenengan mau masuk gedung
bioskop maka tiketnya pun harus sesuai dengan hari itu hari apa? Nggak bisa
kemudian njenengan dating ke satu tempat, atau misalkan ada satu walimahan
pernikahan, njenengan bawa undangan yang bukan undangannya itu. Undangan lain.
Njenengan ditolak. Sama juga ketika njenengan ingin mencapai Allah SWT, Allah
SWT itu sudah punya undangan dan punya jalur. Kalau kita menggunakan jalur yang
lain ya kita tidak akan diterima oleh Allah SWT. Ada tiket tertentu yang ada di
tangan kita ini yang bisa kita gunakan.
Karena
itu, kenapa kemudian di dalam di dalam ahlulbait disebutkan bahwa tawassul ini
tidak boleh kepada sembarang orang. Karena ini sekarang hubungannya itu adalah
mencari perantara antara kita dengan Allah SWT. Maka kita lanjutkan lagi
pembahasan kita sebelumnya.
“Walakin
lil atsar wa bi sabab hadzal kalamul faqith lidalil qouma wahabiyu bittihamil
bi...” Akan tetapi disayangkan karena pendapat-pendapat yang tanpa dalil ini,
sekarang kita lihat banyak sekali pendapat – pendapat terutama dari kalangan
wahabi, statement – statement yang tidak berdalil sama sekali. Orang ziarah
kubur itu syirik. Kenapa? Karena minta kepada selain Allah. Padahal bisa juga
kita kejar misalkan kalau tidak minta kepada selain kubur bagaimana? Kalau cuma
untuk bersih – bersih apakah syirik juga? Artinya, yang mereka lontarkan itu
tidak berdasarkan dalil yang kuat. Masih kemungkinan – kemungkinan. Kenapa
kemungkinan – kemungkinan itu menjadi hukum? Kalau orang masuk kuburan itu
mesti akan minta kepada selain Allah. Khan gitu akhirnya? Padahal belum tentu.
Nantinya juru kunci musyrik semua.
Karena
pendapat yang tidak berdasar itu maka wahabiyun / kalangan wahabi itu
melontarkan banyak tuduhan kepada kaum muslimin dengan syirik dan kafir bahkan.
Dihukumi syirik, dihukumi kafir, karena sabane ning kuburan.
Bahkan
banyak sekali yang kemudian tercipta pertumpahan darah artinya banyak
orang-orang yang dibunuh atas nama agama. Dianggap mereka itu kafir, dianggap
mereka itu musyrik, dan lain sebagainya. Itu hanya karena melakukan hal-hal
yang mereka yakini dan mereka ada dalilnya. Sementara mereka yang melontarkan
tuduhan syirik dan kafir ini tidak berdasar. Tidak ada dalilnya.
Maka
“wa ba’da arofna” dan setelah kita mengetahui keyakinan i’tiqad dan akidah
mereka dengan baiklah kita mengenal bagaimana wahabi itu maka marilah kita
kembali kepada pembahasan kita atau asal pembahasan kita, pembahasan pokok kita
pada hari ini. Dan untuk kita menyelesaikan beberapa hal yang harus kita
selesaikan.
Kemarin
kita sudah membahas mengenai makna tawassul. Makna tawassul yaitu mencapai
sesuatu dengan menggunakan sesuatu. Jembatan untuk menuju kepada sesuatu. Dari
beberapa sumber lughowi, pembahasan secara linguistic kemarin kita sudah
membahas bahwa tawassul ini memiliki makna sekitar itu. Bahwasannya tawassul
adalah di dalam mishbahul lughoh “al wasilah ma yataqorrobu bihi ila syai in”
Segala sesuatu yang mendekatkan kepada sesuatu yang lain. Itu namanya wasilah.
Jamaknya adalah wasail.
Dan
kita kemarin juga sudah menyampaikan juga mengenai beberapa ayat yang
berhubungan dengan kata wasilah. Diantaranya dalam surat Al Maidah : 35.
Qolallahu ta’ala , A’udzubullahi mina syaithanirrajim. “Ya ayyuhalladzina
aamanuttaqullah wabtaghu ilaihil wasilah.” Wahai orang-orang yang beriman,
bertaqwalah kepada Allah dan carilah perantara / wasilah untuk menuju kepada
Nya. “Wa jahidu fi sabilillah la’allakum tuflihun.” Dan berjuanglah di jalan
Allah supaya kalian menjadi orang-orang yang beruntung.
Kemarin
sudah kita bahas ayat itu dan pada ayat yang lain disebutkan pada ayat yang ke
57 surat Al Isra’ “Qulid’ulladzina dza’amtum min dunihi falayamlikuna tasyfadhur
ankum wala tahwila” Maka disebutkan di sini , katakanlah wahai Muhammad,
panggillah orang-orang yang kamu kira bisa melindungi kamu selain Allah.
Sesungguhnya mereka tidak bisa menyingkapkan segala macam keburukan dari kalian
dan tidak bisa merubah kondisi kalian. Ini juga mengenai bertawassul kepada
selain Allah SWT.
Dan
tentunya ayat ini berhubungan dengan berhala. Jelas bahwasannya yang dituju
oleh ayat ini adalah larangan untuk menyembah berhala dengan alasan sebagai
wasilah kepada Allah SWT. “La na’budu illa liyuqarribuna ilallahi zulfa”.
Sementara ayat-ayat yang dijadikan pegangan oleh kalangan wahabi adalah ayat-ayat
yang berhubungan dengan ibadah. Dan tidak ada seorang muslim manapun yang
beribadah kepada arwah. Tidak ada seorang muslim dimanapun mereka berada itu
beribadah kepada selain Allah.
Kita
yakin bahwasannya setiap orang yang kemudian ziarah ke makam, saya kira tidak
satupun dari mereka yang menyembah kepada selain Allah. Yang betul-betul
niatnya ziarah. Lain kalau mau minta togel. Atau mau minta wangsit-wangsit, itu
lain lagi. Yang betul-betul berniat ziarah saya kira tidak ada satupun yang
mengatakan bahwa dia meminta dan menyembah kepada selain Allah. Dimanapun
mereka berada, dan dimanapun mereka berziarah. Selama mereka betul-betul niat
berziarah.
BERSAMBUNG
Comments
Post a Comment